BAB
I
PENDAHULUAN
Indonesia terdiri dari
bermacam-macam suku, agama, budaya, ras dan agama sehingga Indonesia dikenal sebagai Negara yang majemuk
dan heterogen.
Indonesia, sebagaimana negara lain yang memiliki penduduk berbasis multi etnik
dan kultural, tidak terhindar dari ancaman disintegrasi nasional. Beragam
perbedaan latar belakang penduduk baik etnik agama maupun perbedaan sikap
politik dan anutan politik aliran membuat ancaman itu kian nyata. Artinya jika tidak
dikelola dengan baik, perbedaan itu berpotensi merusak integrasi yang telah
terbangun. Di tambah lagi, Pemerintah yang dinilai banyak kalangan masih belum on
the track soal realisasi komitmen membangun masyarakat yang adil dan
makmur.
Fenomena yang seting muncul dalam mimicu disintegrasi adalah
meruaknya lokalisme, primordialisme, sekterianisme dan radikalisme yang
termanisfestasi ke dalam berbagai perilaku dan aktifitas yang disebabkan karena
tarikan globalisme. Apabila dirunut sedikitnya, ada dua problem kebangsaan yang
dirasakan Indonesia, yakni pertama,
merosotnya pemahaman kebangsaan dalam tiga elemen yaitu masyarakat,
kekuatan-kekuatan politik formal (partai politik) dan organisasi-organisasi
sosial yang ekslusif-komunal. Kedua,
munculnya etno-nasionalisme (lokalisme) baik karena alasan historis maupun
karena penerapan desentralisasi yang terdistorsi.
Di ranah hukum, kedua
problem itu juga dirasakan. Akibat merosotnya pemahaman kebangsaan, yang muncul
adalah proses legislasi yang kental dengan bargaining politik bersendikan
kepentingan segelitir elite politik. Alhasil, hukum sebagai produk politik
bukan memberikan solusi menuju ketertiban tetapi justru menjadi bagian dari
ketidaktertiban bahkan menambah masalah-masalah baru, karena minim oleh
sentuhan rasa kebangsaan. hukum atau peraturan perundang-undangan yang
dihasilkan oleh lembaga-lembaga politik meskipun dibentuk secara demokratis,
berpotensi menyimpan muatan kepentingan yang tidak sejalan dengan ketentuan
konstitusi.
BAB
II
PEMBAHASAN
Indonesia dikatakan
sebabai bangsa yang multi Etnik, artinya bangsa Indonesia memiliki banyak etnik
di dalamnya. kemajemukan ini disadari sepenuhnya oleh bangsa sebagai modal
nasionalisme yang terungkap lewat motto “ Bhinneka Tunggal Ika”. Perbedaan
menandakan adanya realitas sedangkan kesatuan merujuk pada keinginan untuk
menyatu dalam kesatuan bangsa. untuk itu di perlukan suatu integrasi dari
masing-masing pihak agar persatuan dan
kesatuan bangsa tetap terjaga.
Integrasi nasional
menurut Saafroedin Bahar (1998) merupakan upaya menyatukan seluruh unsure suatu
bangsa dengan pemerintah dan wilayahnya. Mengintegrasikan berarti
menyempurnakan dengan jalan menyatukan unsure-unsur yang semula terpisah-pisah.
integrasi bangsa dapat dilakukan dengan dua strategi kebijakan yaitu, policy
assimilations dan policy bhinneka tunggal ika. strategi pertama dengan car
penghapusan sifat-sifat cultural utama dari komunitas kecil yang berbeda
menjadi semacam kebudayaan nasional. sedangkan strategi yang kedua dengan cara
penciptaan kesetiaan nasional tanpa penghapusan kebudayaan local.
Howard Wriggins (1966) menyebut ada lima
pendekatan atau cara bagaimana para
pemimpin politik mengembangkan integrasi, yaitu:
- adanya ancaman dari luar
- gaya politik kepemimpinan
- kekuatan lembaga-lembaga politik
- ideology nasional
- kesempatn pembangunan ekonomi
sedangkan Sunyoto Usman (1998)
menyatakan bahwa suatu kelompok masyarakat dapat terintegrasi apabila:
- masyarakat dapat menemukan dan menyepakati nilai-nilai fundamental yang dapat dijadikan rujukan bersama
- masyarakat terhimpun dalam unit social, sekaligus memiliki cross cutting affiliations sehingga menghasilkan cross cutting loyality
- msyarakat berada diatas saling ketergantungan di antara unit-unit social yang terhimpun didalamnya dalam pemenuhan kebutuhan ekonomi.
Dengan merujuk pada peryataan diatas
maka dapat kita lihat bahwa untuk mencapai integrasi nasioanl itu tidaklah
mudah, harus ada tidnakan nyata dari berbagai elemen. Jika salah satu elemen
tersebut tidak bisa bekerja secara maksimal maka untuk mewujudkan integrasi
tersebut merupakan impian belaka. Dalam segi hukum maka elit politiklah yang
berkuasa dalam menentukan kebijakan jadi tipe pemimpin yang baik merupakan
jaminan terselenggarakanya keadilan agar tidak terjadi konflik dalam
melaksanakan kebijakan yang telah ditentukan.
Pada umumnya dikatakan bahwa tujuan
(yang sering disamakan dengan cita-cita) bangsa Indonesia adalah membentuk
masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila. Tetapi di luar rumusan yang
popular dan biasanya disebut sebagai tujuan bangsa itu, tujuan negara Indonesia
secara definitif tertuang di dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945 yang
meliputi:
1.
Melindungi segenap bangsa dan seluruh
tumpah darah Indonesia
2.
Memajukan
kesejahteraan umum
3.
Mencerdaskan
kehidupan bangsa
4.
Ikut melaksanakan ketertiban dunia,
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Untuk mencapai tujuan
Negara sebagaimana yang dimaksud diatas maka hukum yang berlaku di Indonesia
pun harus bisa mengakomodasi kepentingan semua warga Negara. Ini berarti bahwa
dalam pembuatan produk hukum itu sendiri harus mengedepankan kepentingan
masyarakat dan tidak hanya mengutamakan kepentingan kelompok elit semata.
Banyak pakar menyatakan bahwa hukum merupakan produk politik sehingga substansi
materi hukum tersebut cenderung dipengaruhi oleh kepentingan golongan elit
politik. Dengan adanya fenomena ini tentu saja akan berdampak negative terhadap
pelaksanaan hukum itu sendiri, karena dengan ketidakseimbangan substansi materi hukum tersebut maka akan muncul
berbagai reaksi dari sebagaian pihak/masyarakat yang tidak puas dengan aturan
hukum.
Pada umumnya system
hukum itu ada hubungan timbal balik dengan lingkungannya, sehingga bersifat
terbuka, berubah dan mudah diserang, tetapi karena struktur yang member ciri
pada sitem, maka dapat bertahan sebagai kesatuan (Kraan,1981 :2). System
memiliki sifat konsisten, ajeg,dan konsisten dalam menghadapi konflik. Di dalam
system hukum terjadi interaksi antara unsur-unsur atau bagian-bagian. Dengan
adanya interaksi ini maka tidak jarang terjadi konflik antara peraturan
perundang-undangan yang satu dengan peraturan perundang-undangan yang lain,
antara peraturan perundang-undangan dengan putusan peradilan, antara putusan
peradilan dengan hukum kebiasaan (Sundiko Mertokusumo, 2004 :25).
Dengan melihat sebegitu
pentingnya hukum dalam menciptakan tatanan masyarakat yang harmonis, maka
produk hukum tersebut harus bisa memberikan dan memfasilitasi masyarakat dalam
melaksanakan kehidupan berbangsa dan bernegara. Pada dasarnya hukum berfungsi
untuk melindungi kepentingan manusia dan menciptakan ketertiban masyarakat. Sehingga
hukum yang berlaku di masyarakat hendaknya tidak hanya menguntungkan sebagian
pihak, namun memberikan rasa keadilan bagi seluruh masyarakat Indonesia.
Di tataran masyarakat lokal, seiring diberlakukannya
kebijakan otonomi daerah, banyak daerah merespon dengan sangat over
acting. Seolah-olah, otonomi daerah artinya sama dengan kebebasan daerah
untuk sebebas-bebasnya mengelola daerahnya. Tidak mengherankan jika kemudian
banyak bermunculan hukum yang diformalkan dalam bentuk peraturan daerah
bermuatan diskriminatif, tidak sejalan dengan aturan lain baik secara vertikal
maupun horizontal, cenderung merugikan masyarakat lemah termasuk aturan yang
menimbulkan ekonomi biaya tinggi sehingga justru menghambat peningkatan taraf
ekonomi rakyat. Keadaan yang demikian ini tentu saja kontraproduktif
terhadap integrasi nasional dan keutuhan bangsa.
Dengan
demikian maka diperlukan suatu upaya pembinaan yang efektif dan berhasil, serta
tatanan, perangkat dan kebijakan yang tepat, guna memperkukuh integrasi
nasional, hal tersebut dapat dilakukan dengan cara:
- Membangun dan menghidupkan terus komitmen, kesadaran dan kehendak untuk bersatu.
- Menciptakan kondisi dan membiasakan diri untuk selalu membangun consensus.
- Membangun kelembagaan (pranata) yang berakarkan nilai dan norma yang menyuburkan persatuan dan kesatuan bangsa.
- Merumuskan kebijakan dan regulasi yang konkret, tegas dan tepat dalam aspek kehidupan dan pembangunan bangsa yang mencerminkan keadilan bagi semua pihak, semua wilayah.
- Upaya bersama dan pembinaan integrasi nasional memerlukan kepemimpinan yang arif dan bijaksana, serta efektif.
Dengan mengupayakan
usaha-usaha tersebut maka disintegrasi bangsa dapat diminimalisir dan dapat
dihindari. Untuk mencapai integrasi
bangsa yang kokoh tersebut maka perlu adanya kerjasama yang baik antara
pemerintah, masyarakat maupun elit politk. Sehingga tidak hanya masyarakat yang
harus bekerja keras dalam membangun integrasi nasional tetapi pemerintah serta
hukum yang mengatur perilaku masyarakt pun ikut serta dalam menjaga integrasi
nasional.
BAB
III
PENUTUP
- Kesimpulam
Dari uraian tersebut maka dapat disimpulkan bahwa
salah satu masalah yang mendasar politik hukum adalah hukum harus memelihara integarasi bangsa baik secara ideologis maupun
teritorial. Secara ideologis maka hukum harus mampu menjaga dan memelihara
kesatuan sehingga hukum tersebut tidak mengubah pandangan dan kepribadian
bangsa sebagaimana yang tercantum dalam pancasila. Sedangkan secara territorial
maka dengan keberadaan hukum tersebut maka dapat menyatukan bangsa yang secara
geografis terpisah-pisah menjadi bangsa yang integral.
Hukum sendiri memiliki fungsi untuk menjaga tata
tertib masyarakat dalam menghindari konflik. Jadi dengan hukum itu diharapkan
konflik yang terjadi dalam masyarakat dapat terminimalisir. Konflik yang muncul
dalam masyarakat ini cenderung dapat memicu terjadinya disintegrasi bangsa.
Disamping itu peran elit politik dalam membuat
produk hukum juga menentukan substansi materi hukum yang berlaku, sehingga
hukum yang berlaku dalam masyarakat cenderung dipengaruhi kepentingan elit
politik dalam mempertahankan kekuasaan. Hal tersebut tentu saja dapat
menimbulkan konflik dalam masyarakat yang memicu terjadinya disintgrasi bangsa.
Untuk mengantispasinya maka perlu produk hukum yang dapat mengakomodasi
kepentignan seluruh masyarakat agar disintegrasi baik ideologis maupun
territorial tidak terjadi.
DAFTAR
PUSTAKA
Sudikno Mertokusumo. 2004. Penemuan Hukum (Sebuah Pengantar).
Yogyakarta: Liberty
Sasfroedin Bahar. 1998. Integrasi Nasional. Jakarta: Ghalia
Indonesia
Winarno. 2000. Sosiologi Politik. Surakarta: Lab PPKn FKIP UNS
0 komentar:
Posting Komentar